Wednesday 8 May 2013

RITUAL SEKATEN SURAKARTA


KEBUDAYAAN RITUAL SEKATEN SURAKARTA


Sekaten SOLO Bersamaan dengan mulai ditabuhnya gamelan pusaka di bangsal Pradangga Masjid Agung Solo, ratusan orang di kompleks masjid yang sebagian besar kaum perempuan, serta merta mengunyah kinang. Seperangkat kinang yang terdiri dari sejumput tembakau, satu buah kembang kantil dan beberapa helai daun sirih ini jika dikunyah pada saat gamelan pusaka ditabuh, diyakini akan membawa berkah kesehatan, awet muda dan kelancaran rejeki. Oleh karenanya, pada hari gamelan ditabuh pertama kali, para penjual kinang berdatangan dan menggelar dagangannya di pelataran kompleks masjid Agung. Satu perangkat kinang yang dimasukkan dalam wadah berupa conthong (kerucut) dari daun pisang, kini dijual seharga 500 rupiah.
Selain tradisi nginang, sebagian besar warga juga punya kepercayaan bahwa pecut (cambuk) yang dibeli saat itu dapat membuat hewan-hewan ternak mereka lebih produktif. Sehingga selain penjual kinang, para penjual pecut juga memenuhi kompleks pelataran masjid Agung. Karena adanya kepercayaan ini serta demi kemudahan pengaturan dan tetap terjaganya kerapian masjid, pihak keraton membuat peraturan bahwa pedagang yang boleh berjualan di dalam kompleks masjid hanya pedagang kinang, pecut , 4 macam makanan tradisional khas sekaten yakni cabuk rambak, wedang ronde, telor asin dan nasi liwet serta mainan tradisional gangsingan.
Tabuhan gamelan pusaka menandai dimulainya perayaan maleman sekaten Solo 2007. Gamelan yang ditabuh adalah Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari dengan gending utama Rambu dan Rangkur. Tabuhan gamelan sekaten ini konon adalah kreasi wali sanga pada sekitar abad ke 15, untuk menarik perhatian warga dan melakukan syiar Islam. Karena ditujukan untuk menarik perhatian, gamelan yang dibuat pada jaman kerajaan Majapahit ini oleh wali sanga dirombak menjadi lebih besar dari ukuran gamelan biasa agar suara yang dihasilkan bisa terdengar sampai jauh.

Maleman Sekaten sendiri oleh wali sanga ditujukan untuk mengenalkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada para warga, sebagai awal untuk mengenalkan agama Islam. Sekaten berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat tanda KeIslaman). Kalimat Syahadat pertama yang menyatakan kepercayaan kepada ke-Esa-an Tuhan (Asyhadu an laa Illaaha Ilallah) disimbolkan dengan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua yang mengakui kenabian Rasulullah Muhammad SAW (wa Asyhadu anna Muhammaddarrasulullah) dilambangkan dengan Kyai Guntur Sari. Sebelum gamelan ditabuh, para wali biasanya memberi pencerahan tentang Islam kepada para warga yang telah berdatangan. Dan hasilnya tidak sedikit orang-orang yang langsung bisa mengucapkan kalimat syahadat begitu gamelan mulai mengalunkan gending. Syiar tentang keIslaman ini terus dilakukan selama Maleman Sekaten digelar selama 7 hari. Oleh karenanya, gamelan pusaka juga terus dimainkan selama itu.
Kini, selain tetap memelihara syiar Islam, Maleman Sekaten juga ditujukan untuk kepentingan ekonomi dan pariwisata. Rangkaian ritual adat sekaten atau lebih dikenal sebagai Grebeg Maulud tetap dipelihara dengan baik sebagai tradisi leluhur juga sebagai acara untuk menarik para wisatawan. Sementara Maleman sekaten diperpanjang menjadi satu bulan untuk memberi keuntungan ekonomi bagi para pedagang dan masyarakat sekitar.
Rangkaian ritual adat Grebeg Maulud secara lengkap adalah :
1. Tabuhan Gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari.
Memboyong gamelan pusaka dari keraton ke Masjid Agung Solo kemudian menabuh gending Rambu dan Rangkur sebagai prosesi Pembuka Maleman Sekaten. Ritual ini dilakukan pada tanggal 5 Mulud (Tahun Jawa). Kedua gamelan terus ditabuh hingga menjelang pelaksanaan Grebeg Gunungan Sekaten tujuh hari kemudian.
2. Jamasan Meriam Pusaka Kyai Setomi
Menjamasi (membersihkan) meriam pusaka yang terletak di Bangsal Witono, sitihinggil utara Keraton Kasunanan Surakarta. Dilakukan 2 hari sebelum Grebeg Gunungan Sekaten.
3. Pengembalian Gamelan Pusaka ke dalam Keraton.
Pagi hari sebelum pemberian sedekah Raja, para abdi dalem keraton memboyong kembali gamelan pusaka dari Masjid Agung.. Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke dalam ruang pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka. Kyai Guntur Sari akan dibawa dan ditabuh kembali untuk mengiringi Hajad Dalem Gunungan Sekaten ke Masjid Agung
4. Pemberian sedekah Raja berupa gunungan di Masjid Agung
Raja Sinuhun Pakoeboewono memberikan sedekah kepada rakyatnya berupa makanan tradisional dan hasil bumi yang disusun dalam bentuk gunungan jaler (laki-laki) dan estri (perempuan). Gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung diiringi oleh seluruh sentana dan abdi dalem, para prajurit serta gamelan Kyai Guntur Sari yang dimainkan sambil berjalan. Gunungan ini akan didoakan oleh ulama Keraton di masjid Agung kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Grebeg Gunungan digelar bersamaan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yakni tanggal 12 Mulud (Tahun Jawa).

Filosofi dari Sekaten Surakarta


SALAH satu budaya tradisional yang hingga saat ini tetap dipertahankan adalah Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada dasarnya upacara tradisi ini merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW. Perayaan Sekaten ini diadakan setiap 12 Mulud atau 12 Rabiul Awal. Pada zaman dahulu orang Jawa menyukai gamelan, melihat hal itu setiapt hari raya Islam di dalam masjid diadakan penabuhan gamelan agar orang-orang menjadi tertarik.
Ternyata banyak orang datang ke masjid untuk mendengarkan sepasang gamelan Sekaten yang diberi nama Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari. Gamelan Kiai Guntur Madu, berada di sebelah selatan yang melambangkan syahadat tauhid. Kiai Guntur Madu merupakan peninggalan Pakubuwana IV, yaitu tahun 1718 Saka yang ditandai dengan sengkalan Naga Raja Nitih Tunggal. Sedangkan Gamelan Kiai Guntur Sari, berada di sebelah utara dan melambangkan syahadat Rosul. Kiai Guntur Sari merupakan peninggalan Sultan Agung Hanyokusumo pada tahun 1566. Menurut GPH Puger, salah satu putra Paku Buwana XII menjelaskan, Asal mula Sekaten dimulai pada zaman Demak, zaman mulainya kerajaan Islam di tanah Jawa.
“ Sekaten diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama Islam. Karena orang Jawa pada saat itu suka dengan gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu hari lahirnya Nabi Muhammad SAW di Masjid Agung dipukul gamelan agar masyarakar bedatangan di halaman masjid untuk mendengarkan syiar agama Islam” ujarnya.
Puger menambahkan puncak Sekaten tepat tanggal 12 Rabiul Awal ditandai dengan Gerebeg yaitu upacara selamatan dengan dikeluarkannya gunungan dari keraton. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan yakni gunungan kakung dan gunungan putri putri yang bermakna keselamatan dan pembawa berkah. Menurut kepercayaan masyarakat, barang siapa yang memakan sirih tepat pada saat gamelan Sekaten berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda sehingga banyak orang yang berjualan sirih pada perayaan sekaten.
Namun G.P.H. Puger menanggapi mitos tersebut dengan pemikiran yang logis. Diungkapkannya bahwa pernyataan mitos yang sangat dipercaya masyarakat tersebut menandakan pada zaman dahulu sudah dikenal adanya ilmu kesehatan.
“ Terbukti bahwa masyarakat dianjurkan makan sirih yang mempunyai banyak fungsi untuk kesehatan tubuh karena kandungan sirih tersebut dapat mengobati berbagai macam penyakit, menyehatkan gigi, berfungsi dalam pencernaan, dan menyegarkan badan. “ terang Puger lagi. Saat Sekaten halaman Masjid Agung Surakarta dipenuhi oleh penjual yang ikut meramaikan perayaan Sekaten itu, seperti pedagang makanan seperti, mie ayam, telur asin, jenang, sirih termasuk beragam mainan seperti pecut dan mainan anakanak. Bila perayaan Sekaten jatuh pada hari Jumat, gamelan tidak dibunyikan mulai Maghrib sampai siang, karena hari Jumat merupakan hari mulia bagi orang Islam.
Gamelan tersebut berhenti pada waktu-waktu sholat karena memberikan kesempatan kepada penabuh gamelan maupun bagi masyarakat yang mendengarkannya untuk menjalankan kewajiban sholat sehingga fungsi perayaan Sekaten sebagai syiar Islam tetap terpelihara.

No comments:

Post a Comment