KEBUDAYAAN
RITUAL SEKATEN SURAKARTA
Sekaten SOLO Bersamaan
dengan mulai ditabuhnya gamelan pusaka di bangsal Pradangga Masjid Agung Solo,
ratusan orang di kompleks masjid yang sebagian besar kaum perempuan, serta
merta mengunyah kinang. Seperangkat kinang yang terdiri dari sejumput tembakau,
satu buah kembang kantil dan beberapa helai daun sirih ini jika dikunyah pada
saat gamelan pusaka ditabuh, diyakini akan membawa berkah kesehatan, awet muda
dan kelancaran rejeki. Oleh karenanya, pada hari gamelan ditabuh pertama kali,
para penjual kinang berdatangan dan menggelar dagangannya di pelataran kompleks
masjid Agung. Satu perangkat kinang yang dimasukkan dalam wadah berupa conthong
(kerucut) dari daun pisang, kini dijual seharga 500 rupiah.
Selain tradisi nginang,
sebagian besar warga juga punya kepercayaan bahwa pecut (cambuk) yang dibeli
saat itu dapat membuat hewan-hewan ternak mereka lebih produktif. Sehingga
selain penjual kinang, para penjual pecut juga memenuhi kompleks pelataran masjid
Agung. Karena adanya kepercayaan ini serta demi kemudahan pengaturan dan tetap
terjaganya kerapian masjid, pihak keraton membuat peraturan bahwa pedagang yang
boleh berjualan di dalam kompleks masjid hanya pedagang kinang, pecut , 4 macam
makanan tradisional khas sekaten yakni cabuk rambak, wedang ronde, telor asin
dan nasi liwet serta mainan tradisional gangsingan.
Tabuhan gamelan pusaka
menandai dimulainya perayaan maleman sekaten Solo 2007. Gamelan yang ditabuh
adalah Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari dengan gending utama Rambu dan
Rangkur. Tabuhan gamelan sekaten ini konon adalah kreasi wali sanga pada
sekitar abad ke 15, untuk menarik perhatian warga dan melakukan syiar Islam.
Karena ditujukan untuk menarik perhatian, gamelan yang dibuat pada jaman
kerajaan Majapahit ini oleh wali sanga dirombak menjadi lebih besar dari ukuran
gamelan biasa agar suara yang dihasilkan bisa terdengar sampai jauh.
Maleman Sekaten sendiri
oleh wali sanga ditujukan untuk mengenalkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada
para warga, sebagai awal untuk mengenalkan agama Islam. Sekaten berasal dari
kata Syahadatain (dua kalimat syahadat tanda KeIslaman). Kalimat Syahadat
pertama yang menyatakan kepercayaan kepada ke-Esa-an Tuhan (Asyhadu an laa
Illaaha Ilallah) disimbolkan dengan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua
yang mengakui kenabian Rasulullah Muhammad SAW (wa Asyhadu anna
Muhammaddarrasulullah) dilambangkan dengan Kyai Guntur Sari. Sebelum gamelan
ditabuh, para wali biasanya memberi pencerahan tentang Islam kepada para warga
yang telah berdatangan. Dan hasilnya tidak sedikit orang-orang yang langsung
bisa mengucapkan kalimat syahadat begitu gamelan mulai mengalunkan gending.
Syiar tentang keIslaman ini terus dilakukan selama Maleman Sekaten digelar
selama 7 hari. Oleh karenanya, gamelan pusaka juga terus dimainkan selama itu.
Kini, selain tetap
memelihara syiar Islam, Maleman Sekaten juga ditujukan untuk kepentingan
ekonomi dan pariwisata. Rangkaian ritual adat sekaten atau lebih dikenal
sebagai Grebeg Maulud tetap dipelihara dengan baik sebagai tradisi leluhur juga
sebagai acara untuk menarik para wisatawan. Sementara Maleman sekaten
diperpanjang menjadi satu bulan untuk memberi keuntungan ekonomi bagi para
pedagang dan masyarakat sekitar.
Rangkaian ritual adat
Grebeg Maulud secara lengkap adalah :
1. Tabuhan Gamelan
Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari.
Memboyong gamelan
pusaka dari keraton ke Masjid Agung Solo kemudian menabuh gending Rambu dan
Rangkur sebagai prosesi Pembuka Maleman Sekaten. Ritual ini dilakukan pada
tanggal 5 Mulud (Tahun Jawa). Kedua gamelan terus ditabuh hingga menjelang
pelaksanaan Grebeg Gunungan Sekaten tujuh hari kemudian.
2. Jamasan Meriam
Pusaka Kyai Setomi
Menjamasi
(membersihkan) meriam pusaka yang terletak di Bangsal Witono, sitihinggil utara
Keraton Kasunanan Surakarta. Dilakukan 2 hari sebelum Grebeg Gunungan Sekaten.
3. Pengembalian Gamelan
Pusaka ke dalam Keraton.
Pagi hari sebelum
pemberian sedekah Raja, para abdi dalem keraton memboyong kembali gamelan
pusaka dari Masjid Agung.. Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke
dalam ruang pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka.
Kyai Guntur Sari akan dibawa dan ditabuh kembali untuk mengiringi Hajad Dalem
Gunungan Sekaten ke Masjid Agung
4. Pemberian sedekah
Raja berupa gunungan di Masjid Agung
Raja Sinuhun
Pakoeboewono memberikan sedekah kepada rakyatnya berupa makanan tradisional dan
hasil bumi yang disusun dalam bentuk gunungan jaler (laki-laki) dan estri
(perempuan). Gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung diiringi oleh seluruh
sentana dan abdi dalem, para prajurit serta gamelan Kyai Guntur Sari yang
dimainkan sambil berjalan. Gunungan ini akan didoakan oleh ulama Keraton di
masjid Agung kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Grebeg Gunungan digelar
bersamaan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yakni tanggal 12 Mulud (Tahun
Jawa).
Filosofi
dari Sekaten Surakarta
SALAH
satu budaya tradisional yang hingga saat ini tetap dipertahankan adalah Upacara
Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta. Pada dasarnya upacara tradisi
ini merupakan upacara memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW. Perayaan
Sekaten ini diadakan setiap 12 Mulud atau 12 Rabiul Awal. Pada zaman dahulu
orang Jawa menyukai gamelan, melihat hal itu setiapt hari raya Islam di dalam
masjid diadakan penabuhan gamelan agar orang-orang menjadi tertarik.
Ternyata
banyak orang datang ke masjid untuk mendengarkan sepasang gamelan Sekaten yang
diberi nama Kiai Guntur Madu dan Kiai Guntur Sari. Gamelan Kiai Guntur Madu,
berada di sebelah selatan yang melambangkan syahadat tauhid. Kiai Guntur Madu
merupakan peninggalan Pakubuwana IV, yaitu tahun 1718 Saka yang ditandai dengan
sengkalan Naga Raja Nitih Tunggal. Sedangkan Gamelan Kiai Guntur Sari, berada
di sebelah utara dan melambangkan syahadat Rosul. Kiai Guntur Sari merupakan
peninggalan Sultan Agung Hanyokusumo pada tahun 1566. Menurut GPH Puger, salah
satu putra Paku Buwana XII menjelaskan, Asal mula Sekaten dimulai pada zaman
Demak, zaman mulainya kerajaan Islam di tanah Jawa.
“ Sekaten
diadakan sebagai salah satu upaya dalam menyiarkan agama Islam. Karena orang
Jawa pada saat itu suka dengan gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu hari
lahirnya Nabi Muhammad SAW di Masjid Agung dipukul gamelan agar masyarakar
bedatangan di halaman masjid untuk mendengarkan syiar agama Islam” ujarnya.
Puger
menambahkan puncak Sekaten tepat tanggal 12 Rabiul Awal ditandai dengan Gerebeg
yaitu upacara selamatan dengan dikeluarkannya gunungan dari keraton. Dari
sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan yakni gunungan kakung dan gunungan
putri putri yang bermakna keselamatan dan pembawa berkah. Menurut kepercayaan
masyarakat, barang siapa yang memakan sirih tepat pada saat gamelan Sekaten
berbunyi untuk pertama kalinya akan awet muda sehingga banyak orang yang
berjualan sirih pada perayaan sekaten.
Namun
G.P.H. Puger menanggapi mitos tersebut dengan pemikiran yang logis.
Diungkapkannya bahwa pernyataan mitos yang sangat dipercaya masyarakat tersebut
menandakan pada zaman dahulu sudah dikenal adanya ilmu kesehatan.
“
Terbukti bahwa masyarakat dianjurkan makan sirih yang mempunyai banyak fungsi
untuk kesehatan tubuh karena kandungan sirih tersebut dapat mengobati berbagai
macam penyakit, menyehatkan gigi, berfungsi dalam pencernaan, dan menyegarkan
badan. “ terang Puger lagi. Saat Sekaten halaman Masjid Agung Surakarta
dipenuhi oleh penjual yang ikut meramaikan perayaan Sekaten itu, seperti
pedagang makanan seperti, mie ayam, telur asin, jenang, sirih termasuk beragam
mainan seperti pecut dan mainan anakanak. Bila perayaan Sekaten jatuh pada hari
Jumat, gamelan tidak dibunyikan mulai Maghrib sampai siang, karena hari Jumat
merupakan hari mulia bagi orang Islam.
Gamelan
tersebut berhenti pada waktu-waktu sholat karena memberikan kesempatan kepada
penabuh gamelan maupun bagi masyarakat yang mendengarkannya untuk menjalankan
kewajiban sholat sehingga fungsi perayaan Sekaten sebagai syiar Islam tetap
terpelihara.